Di sebuah lembah hijau di kaki Gunung Lubuk Tempurung, Sumatera Barat, suara gemericik air kolam berpadu dengan semangat seorang pemuda bernama Mikri Zal.
Bagi sebagian orang, kolam ikan mungkin hanyalah air dan lumpur. Tapi bagi Mikri, di sanalah masa depan sedang tumbuh, satu ekor demi satu ekor.
Saat masih kuliah di Universitas Negeri Padang, jurusan Pendidikan Teknik Sipil, hidup tak selalu mudah bagi Mikri. Biaya kuliah sering jadi beban. Namun, alih-alih menyerah, ia justru berpikir keras mencari jalan keluar.
Ia melihat kampung halamannya yang kaya air dan alam. “Kenapa tidak saya manfaatkan saja potensi di sekitar ini?” pikirnya.
Dari sanalah langkah kecil itu dimulai, tanpa modal besar, tanpa pengalaman. Hanya dengan keyakinan bahwa tangan sendiri bisa menciptakan peluang.
Dari Kolam Pertama, Lahir Mimpi Besar
Bersama beberapa sahabat, Mikri membentuk kelompok pembudidaya ikan yang diberi nama Pokdakan Lubuk Tempurung Indah.
Awalnya sederhana, kolam kecil, ikan nila, dan harapan besar. Tapi siapa sangka, dari situ ia menemukan panggilan hidupnya.
Dulu ia bercita-cita menjadi insinyur, kini ia justru menjadi “insinyur kehidupan”, merancang sistem budidaya ikan yang tak hanya memberi penghasilan, tapi juga memberdayakan masyarakat sekitar.
Belajar dari Gagal, Bangkit Lebih Tangguh
Tentu, perjalanan itu tidak selalu indah. Pernah satu ketika, banjir bandang datang tiba-tiba. Air bah menghanyutkan kolam dan ikan-ikan yang dibesarkannya selama berbulan-bulan.
“Waktu itu rasanya seperti jatuh di titik nol,” kenangnya.
Namun, kegagalan tak membuatnya berhenti. Ia belajar, memperbaiki sistem irigasi, membuat saluran pembuangan baru, dan memastikan kolamnya lebih kuat menghadapi alam.
Baginya, kegagalan bukan akhir, tapi guru yang terbaik.
Inovasi dari Limbah, Solusi dari Desa
Tantangan lain datang dari biaya pakan, 70% dari modal habis untuk memberi makan ikan. Tapi Mikri tak ingin menyerah.
Ia berpikir kreatif: “Bagaimana kalau kita buat pakan sendiri?”
Dari situ lahir ide pakan ikan mandiri. Ia mengumpulkan limbah organic, dedak, ikan rucah, dan bahan-bahan sisa yang biasanya terbuang, lalu mengolahnya menjadi pakan berkualitas.
Inovasi itu mengubah banyak hal: biaya berkurang, keuntungan naik, lingkungan bersih, dan masyarakat sekitar ikut terlibat.
Mikri membuktikan bahwa kreativitas adalah modal utama petani milenial.
Hilirisasi: Menjual dengan Cerdas
Mikri tahu, hasil panen tak akan berarti tanpa pasar. Maka ia mulai berpikir maju, menjual ikan nila langsung ke rumah makan dan konsumen, tanpa perantara.
Dengan langkah ini, harga jual naik, keuntungan bertambah, dan hubungan dengan pelanggan semakin kuat.
Kini, Pokdakan Lubuk Tempurung Indah mampu memanen 300–400 kilogram ikan nila per kolam setiap bulan. Mereka memiliki sepuluh kolam aktif, dan hampir setiap minggu ada panen.
Dari kampung kecil di kaki gunung, mereka kini menjadi pemasok ikan nila untuk rumah makan dan pasar di Kota Padang.
Dampak yang Meluas: Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Usaha ini bukan hanya soal keuntungan pribadi. Limbah organik dari Kota Padang kini berubah menjadi bahan berguna.
Anak-anak muda yang dulu bingung mencari kerja, kini bergabung, belajar, dan menghasilkan bersama Mikri.
“Kami ingin tunjukkan bahwa jadi petani itu keren. Bahwa dari lumpur pun, kita bisa membangun masa depan,” katanya tersenyum.
Berkat ketekunan dan semangat itu, Pokdakan mereka kini menjadi kelompok binaan unggulan Dinas Perikanan dan bagian dari gerakan Petani Milenial Sumatera Barat.
Pelajaran Terbesar: Konsistensi adalah Kunci
Mikri sempat kehilangan pelanggan besar karena tidak bisa menjaga kontinuitas produksi. Tapi dari kesalahan itu, ia belajar tentang makna disiplin dan konsistensi.
“Kalau kita terus hadir dengan kualitas yang sama, pelanggan akan percaya. Kuncinya: jangan berhenti di tengah jalan,” ujarnya mantap.
Kini pelanggan mereka semakin banyak, dari rumah makan, agen ikan, hingga toko-toko kecil. Bahkan Mikri sedang bersiap melangkah ke tahap berikutnya: mengolah ikan nila menjadi produk olahan seperti nugget dan bakso ikan.
Pesan untuk Generasi Muda
Di akhir kisahnya, Mikri menyampaikan pesan sederhana namun dalam:
“Jangan takut jadi petani. Jangan malu berusaha dari bawah. Kebutuhan pangan tidak akan pernah berhenti, selama manusia makan, petani akan selalu dibutuhkan.”
Ia menatap kolamnya yang tenang, pantulan langit biru dan ikan-ikan yang berenang jadi cermin dari kerja keras dan harapan.
Dari air yang mengalir itu, lahir bukti bahwa anak muda pun bisa menumbuhkan masa depan bangsa dari desa sendiri.
Mikri Zal telah membuktikan satu hal:
Bahwa kesuksesan tidak hanya tumbuh di kota besar, tapi juga di kolam sederhana, tempat di mana kerja keras, ide, dan cinta pada alam bersatu.
Ia bukan sekadar pembudidaya ikan, tapi penyemai semangat baru bagi generasi muda Indonesia